Dalam kesehariannya, warga Tarim masih kuat memegang budaya yang berlandaskan Islam. Sesibuk apa pun mereka, tapi tatkala azan berkumandang, anak-anak hingga orang tua serentak menghentikan aktivitasnya dan segera ke masjid. Kota yang hanya seukuran kecamatan di Aceh ini memiliki 360 masjid yang tersebar hingga ke pelosok desa.
Hal lain yang membuat saya takjub adalah ketika memperhatikan bangunan-bangunan di kota ini. Hampir semua masjid dan rumah warga di sini dibangun dari tanah liat, namun tetap kokoh. Sebut saja Masjid Al-Muhdhar yang sampai sekarang masih berdiri tegak, meski sudah sangat tua. Masjid ini juga memiliki menara dari tanah liat yang tertinggi di dunia, mencapai 46 meter.
Wanita di wilayah ini terbiasa sejak kecil dibesarkan di lingkungan ulama. Siang malam mereka berada dalam majelis ilmu, belajar Alquran, adab, akhlak, dan tasawuf. Mereka besar dalam suasana tidak mengenal radikalisme dan kebiadaban, tidak mengenal wajah orang fasik, sehinga para wanita Tarim lebih aman dari perlakuan pria-pria kejam dan penuh nafsu tatkala melihat wanita.
Ajaibnya lagi, agar tidak bercampur antara pria dan perempuan, masyarakat Tarim membuat pasar khusus untuk wanita. Meski begitu, para wanita tersebut tetap mengenakan cadar serta meminimalisir kesempatan untuk ke luar rumah. Maka tidak heran, beberapa tahun lalu masih banyak dijumpai wanita yang selama hidupnya hanya tiga kali ke luar rumah.
Mereka ke luar dari rumah, pertama ketika pada masa kanak-kanak, kedua ketika pindah ke rumah suaminya, dan ketiga ketika menuju kuburan (meninggal dunia).
Oleh karena itu, pantaslah Badan Resmi PBB, Unesco menobatkan
Kota Tarim ini sebagai Kota Pusat Kebudayaan Islam pada tahun 2010
lalu.
Di sisi lain, masyarakat Tarim sangat baik dan respek terhadap para penuntut ilmu, asal kita juga menghormati budaya, adat, dan cara mereka bergaul. Sejujurnya, adaptasi dengan warga tempatan sangat perlu dilakukan karena gesekan budaya yang berbeda antara Yaman dan Indonesia umumnya tidak jarang menyebabkan mahasiswa merasa kaget, mengalami keterkejutan budaya (shock culture).
Tak hanya bahasa dan respons terhadap lingkungan, lidah pun sepertinya mesti diset ulang saat orang kita dari Aceh dan Indonesia pada umumnya, bermukim agak lama di Tarim. Sambal, misalnya, mereka suka sambal yang berasa asam dan pahit, berbeda dengan sambal kita yang biasanya panas, pedas, dan manis.
Karakter lain yang menakjubkan dari masyarakat Tarim ini adalah sifat ikhlas yang benar-benar tertanam kuat dalam diri mereka. Hampir semua warga Tarim rela datang dari jauh dan berpanas-panas demi menghadiri acara haul (hajatan), maulid, khatam Quran, dan acara-acara lainnya meski di tempat acara mereka hanya disuguhi secangkir kecil teh atau air jahe (serbat).
Setiap kali saya berpapasan dengan penduduk yang sejatinya tidak saling kenal, mereka selalu unjuk salam lebih dulu, kemudian sambil berlalu terdengar dari mulut mereka tasbih dan tahmid yang mereka baca perlahan. Ya, hampir semua penduduk Tarim dari yang level awamnya sampai ulama besarnya gemar berzikir. Mereka juga sangat menjunjung tingi asas praduga tak bersalah alias husnudzan, baik kepada sesama maupun terhadap Sang Khalik.
Uniknya lagi, di Tarim ini tidak akan pernah kita dengar nyanyian-nyanyian pop, rock, dan sebagainya. Bagi mereka, mendengarkan lagu-lagu jenis ini adalah sebuah aib (cela) sehingga yang selalu terdengar adalah kasidah dan nasyid yang memuji Allah dan rasul-Nya.
Bagi warga Aceh yang ingin belajar ke Tarim atau ke Yaman pada umumnya, ada tiga institusi pendidikan yang disukai banyak pelajar asal Indonesia. Yakni, Darul Mushthafa di bawah pimpinan Habib Umar, gurunya almarhum Habib Munzir Al Musawa. Beberapa bulan ke depan insya Allah beliau akan berkunjung ke Indonesia dalam agenda tahunan beliau. Ada lagi Rubath Tarim yang sistem pendidikannya tidak jauh beda dengan pondok pesantren di Aceh. Terakhir adalah Fakultas Syari‘ah dan Hukum Universitas Al-Ahgaff. Silakan Anda pilih satu di antaranya dari tiga pilihan terbaik ini.
Di samping itu, setiap hari banyak pengajian yang bersifat umum, baik untuk warga Tarim maupun untuk pelajar-pelajar internasional. Dari tempat seperti ini pun kita bisa menimba ilmu yang tak pernah habisnya. Demikianlah sekelumit kehidupan di Tarim, semoga berguna.
_________
Tulisan ini sudah dimuatkan di Koran Serambi Indonesia di kolom sitizen repoter>
Penulis : M. Aidil Adhaa, mahasiswa Univ. AL-Ahgaff asal Aceh.
Di sisi lain, masyarakat Tarim sangat baik dan respek terhadap para penuntut ilmu, asal kita juga menghormati budaya, adat, dan cara mereka bergaul. Sejujurnya, adaptasi dengan warga tempatan sangat perlu dilakukan karena gesekan budaya yang berbeda antara Yaman dan Indonesia umumnya tidak jarang menyebabkan mahasiswa merasa kaget, mengalami keterkejutan budaya (shock culture).
Tak hanya bahasa dan respons terhadap lingkungan, lidah pun sepertinya mesti diset ulang saat orang kita dari Aceh dan Indonesia pada umumnya, bermukim agak lama di Tarim. Sambal, misalnya, mereka suka sambal yang berasa asam dan pahit, berbeda dengan sambal kita yang biasanya panas, pedas, dan manis.
Karakter lain yang menakjubkan dari masyarakat Tarim ini adalah sifat ikhlas yang benar-benar tertanam kuat dalam diri mereka. Hampir semua warga Tarim rela datang dari jauh dan berpanas-panas demi menghadiri acara haul (hajatan), maulid, khatam Quran, dan acara-acara lainnya meski di tempat acara mereka hanya disuguhi secangkir kecil teh atau air jahe (serbat).
Setiap kali saya berpapasan dengan penduduk yang sejatinya tidak saling kenal, mereka selalu unjuk salam lebih dulu, kemudian sambil berlalu terdengar dari mulut mereka tasbih dan tahmid yang mereka baca perlahan. Ya, hampir semua penduduk Tarim dari yang level awamnya sampai ulama besarnya gemar berzikir. Mereka juga sangat menjunjung tingi asas praduga tak bersalah alias husnudzan, baik kepada sesama maupun terhadap Sang Khalik.
Uniknya lagi, di Tarim ini tidak akan pernah kita dengar nyanyian-nyanyian pop, rock, dan sebagainya. Bagi mereka, mendengarkan lagu-lagu jenis ini adalah sebuah aib (cela) sehingga yang selalu terdengar adalah kasidah dan nasyid yang memuji Allah dan rasul-Nya.
Bagi warga Aceh yang ingin belajar ke Tarim atau ke Yaman pada umumnya, ada tiga institusi pendidikan yang disukai banyak pelajar asal Indonesia. Yakni, Darul Mushthafa di bawah pimpinan Habib Umar, gurunya almarhum Habib Munzir Al Musawa. Beberapa bulan ke depan insya Allah beliau akan berkunjung ke Indonesia dalam agenda tahunan beliau. Ada lagi Rubath Tarim yang sistem pendidikannya tidak jauh beda dengan pondok pesantren di Aceh. Terakhir adalah Fakultas Syari‘ah dan Hukum Universitas Al-Ahgaff. Silakan Anda pilih satu di antaranya dari tiga pilihan terbaik ini.
Di samping itu, setiap hari banyak pengajian yang bersifat umum, baik untuk warga Tarim maupun untuk pelajar-pelajar internasional. Dari tempat seperti ini pun kita bisa menimba ilmu yang tak pernah habisnya. Demikianlah sekelumit kehidupan di Tarim, semoga berguna.
_________
Tulisan ini sudah dimuatkan di Koran Serambi Indonesia di kolom sitizen repoter>
Penulis : M. Aidil Adhaa, mahasiswa Univ. AL-Ahgaff asal Aceh.