Minggu, 24 Juli 2016

Semarak Pacuan Unta Di Tarim

TARIM merupakan sebuah kota mungil yang berada di ujung selatan Provinsi Hadhramaut, berjarak sekitar 1.500 kilometer dari ibu kota negara Republik Yaman, Kota Sana’a.

Dengan luas yang hanya seukuran kecamatan-kecamatan di Aceh, Tarim memiliki sekitar 362 masjid yang tersebar di setiap distriknya. Di Tarim juga banyak kita temukan majelis-majelis ilmu, maulidan, dan majelis zikir.

Tapi, bercerita tentang Tarim tak melulu mengenai kajian-kajian ilmu dan majelis-majelis zikir. Warga Tarim tidak hanya mementingkan riyadhah bathiniyah (olahraga kejiwaan), tapi mereka juga menghiraukan serta menganggap penting olahraga-olahraga jasmani, di antaranya dengan mengadakan turnamen sepak bola, bola voli, dan beragam macam olahraga lainnya.

Namun, yang lebih menarik kali ini adalah dengan diadakannya perlombaan pacuan unta di Lapangan Distrik ‘Aidid, sebuah lapangan sepanjang 400 meter yang berada di selatan Kampus Universitas Al-Ahgaff, tempat saat ini saya kuliah.

Perlombaan yang berlangsung selama dua hari ini memperebutkan hadiah uang tunai 100 ribu riyal Yaman (setara dengan 5,5 juta rupiah) bagi sang juara pertama yang didanai langsung oleh kabilah Bin Kardus. Bin Kardus merupakan nama sebuah kabilah yang mempunyai beberapa perusahaan tersohor di wilayah Provinsi Hadhramaut.

Pada hari pertama, hari Jumat setelah shalat Asar, sebanyak 44 ekor unta dari berbagai wilayah di Hadhramaut bersama penunggangnya yang dibagi ke beberapa grup sudah siap berlaga adu kecepatan. Sedangkan di hari puncak sebanyak 39 unta ikut berlaga.

Sebelum lomba dimulai, panitia lebih dulu memberi arahan dan peraturan-peraturan yang harus dipatuhi selama laga berlangsung. Di antaranya tidak melakukan kecurangan, harus mengenakan seragam khusus, yaitu berwarna kuning dan tidak diperbolehkan memakai celana yang memperlihatkan auratnya.

Setelah semuanya selesai, lomba segera dimulai. Hakim di garis start mengayunkan bendera pertanda perlombaan dimulai yang disusul langsung dengan berlarinya unta menuju garis finish. Para penunggang terlihat begitu lihai dalam “menyetir” binatang khas padang pasir itu. Sorakan dan tepukan penonton yang memadati lapangan pun menyeruak seantero Kota Tarim. Seru! Itulah kesan pertama kali saya menonton perlombaan itu. Perlombaan yang tidak akan pernah ada di Aceh, nanggroe lon tercinta.

Bukan hanya pacuan kuda, memacu unta juga merupakan olahraga yang membutuhkan latihan ekstrakuat, ketangkasan, sikap fokus, dan keseimbangan tubuh ketika unta sedang memacu kecepatannya. Salah fokus dan kurangnya keseimbangan tubuh bisa menyebabkan si penunggang terjatuh ke tanah dan bisa menyebabkan ia cedera fisik.

Yang menyeramkan, ketika si penunggang terlepas kendalinya dan jatuh ke tanah, lalu unta yang ditungganginya itu berlari tanpa kendali ke arah penonton dan menabrak mereka. Oleh sebab itu, para penonton (khususnya yang berada di pinggir lapangan) dituntut agar lebih hati-hati dan waspada. Meskipun selama perlombaan, sebuah mobil ambulans disiagakan untuk mengangkut para korban, namun sikap waspada lebih baik daripada mengobati.

Perlombaan ini berakhir ketika azan Magrib berkumandang. Berbondong-bondong para penonton menuju masjid-masjid yang berada di dekat lapangan.

Bukan hanya penonton, para peserta penunggang unta dengan pakaian yang dikenakannya pun ikut shalat Magrib berjamaah. Dalam sekejap, tanpa harus ada aba-aba dari polisi syariat, masjid-masjid disesaki oleh insan-insan yang menghadap Tuhannya.

Jujur, ini merupakan fenomena yang kadang jarang saya lihat di Aceh. Bahkan kebanyakan perlombaan dan turnamen-turnamen di Nanggroe Serambi Mekkah tetap berlangsung ketika panggilan Allah menggema dari masjid dan meunasah-meunasah. Bahkan lebih sedihnya lagi, ada petarung atau peserta lomba yang tidak menghiraukan kewajiban shalat fardhu hanya karena sebuah pertandingan.

Akhir kata, semoga Aceh selalu berbenah di segala sisi dengan harapan lebih maju dan lebih mantap dalam menerapkan syariat Islam secara kafah dan benar-benar pantas untuk dijuluki Nanggroe Meusyari’at. Semoga!
__________
Tulisan ini sudah dimuatkan di koran Serambi Indonesia di kolom Sitizen Reporter, cetakan 23 Juli 2016.
Dikirim oleh M. Aidil Adhaa, Mahasiswa Universitas Al-Ahgaff asal Aceh.

Senin, 11 Juli 2016

Suasana Lebaran Idul Fitri Di Tarim Bagaikan Ramadhan

 
KETIKA Hari Raya tiba, semua ummat islam di belahan dunia melaksanakan beragam macam acara untuk memeriahkan hari kemenangan ini. Dari acara saling berjabat tangan dan saling memaafkan, hingga mengunjungi dan bersilaturahmi dengan sanak saudara yang dekat maupun yang jauh.

Tapi lain lagi halnya dengan Tarim, kota yang dinobatkan sebagai “Kota Ilmu dan Kebudayaan” oleh ISESCO. Tarim memiliki banyak keunikan yang tidak dimiliki kota-kota di negara lain, terutama saat melaksanakan even-even keagamaan.

Saat bulan Syawal seperti sekarang ini, misalnya, suasana Ramdahan masih terasa begitu kental di Tarim. Pada saat daerah lain sedang sibuk melaksankan berbagai macam kegiatan yang menandai Hari Raya Idul Fitri, masyarakat Tarim justru sibuk dan larut dalam ibadah. Warga Tarim masih melaksanakan ibadah puasa tak ubahnya sebagaimana yang mereka lakukan saat Ramadhan.

Hanya hari Lebaran pertama saja yang terlihat seperti Lebaran pada umumnya. Hari Raya Iidul Fitri di Tarim juga jatuh pada hari Rabu, 6 Juli seperti di Indonesia. Tapi sejak tanggal 2 Syawal, masyarakat Tarim kembali melaksanakan puasa sunah (puasa enam) secara serentak hingga tujuh Syawal. Karena hampir semua orang melaksanakan puasa enam berbarengan, hal ini menjadikan suasana Lebaran di Kota Tarim kembali seperti suasana saat bulan Ramadhan.

Baik di siang hari maupun malam hari, suasana di Tarim tak ubah dengan suasana saat Ramadhan, hanya saja tidak ada lagi shalat Tarawih pada malamnya. Masjid-masjid masih dipenuhi oleh jamaah yang melaksankan iktikaf sambil membaca Alquran.

Agenda bulan Syawal juga tidak jauh beda dengan agenda masyarakat Tarim di bulan Ramadhan. Di beberapa Masjid Tarim juga masih melaksanakan acara khatam Alquran, buka puasa bersama, dan lainnya, sebagaimana yang dilaksanakan saat bulan Ramadhan.

Kenapa begitu? Bukankah hari Lebaran itu hari kemenangan dan untuk bersenang-senang? Ya, Lebaran adalah hari kemenangan dan bersenang-senang. Tapi bagi masyarakat Tarim, kemenangan itu adalah saat mereka masih bisa melaksankan ibadah seperti biasa. Dan saat mereka melaksanakan ibadah, itulah saat mereka bersenang-senang, yakni bersenang-senang dengan ibadahnya.

Setelah puasa enam dilaksanakan, tepatnya tanggal 8 Syawal, barulah acara open house dilaksanakan di berbagai kediaman tokoh-tokoh masyarakat Tarim. Sesuai namanya, open house ini terbuka untuk semua orang, baik orang Tarim maupun luar Tarim diperbolehkan untuk hadir. Di acara open house seperti ini kita bisa berjumpa dan bersalaman dengan para ulama yang juga ikut hadir.

Open house di Tarim juga berbeda dengan open house di tempat-tempat lain. Jika open house pada umumnya identik dengan berbagai macam makanan enak atau pembagian tunjangan hari raya (THR) atau salam tempel, tapi open house di Tarim justru diwarnai dengan zikir, selawat, dan doa berjamaah, kemudian ditutup dengan saling bersalaman. Pastinya, jadwal open house untuk kaum Adam dan Hawa tidak dilaksanakan bersamaan waktu dan tempatnya.

Acara open house seperti ini sudah menjadi adat tahunan di Tarim. Jadwalnya pun sudah ditetapkan secara permanen untuk setiap tahun. Jadwal ini tidak akan diubah kecuali ada beberapa hal yang mengharuskannya. Open house yang biasa dilaksanakan di Tarim antara lain oleh keluarga Bin Hafidh di rumah Al-‘Alamah Habib Umar bin Hafidh, open house keluarga Balfaqih di rumah Munshib Aal Balfaqih, open house Aal Hamid di rumah Munshib Aal Hamid, dan open house Aal bin Syihab di rumah Habib Adullah bin Syihab. Demikianlah ketentuannya.

Inilah sekilas suasana Hari Raya Idul Fitri di Kota Sejuta Wali, Tarim, Hadhramaut, Yaman. Seulamat Uroe Raya Idul Fitri 1437 H, Saudara lon di Aceh. Mohon meuah lahe ngon baten.
________
Reporter : Ezi Azwar Anzaruddin, mahasiswa Univ. Al-Ahgaff asal Aceh.