TARIM merupakan sebuah kota mungil yang berada di ujung
selatan Provinsi Hadhramaut, berjarak sekitar 1.500 kilometer dari ibu
kota negara Republik Yaman, Kota Sana’a.
Dengan luas yang hanya
seukuran kecamatan-kecamatan di Aceh, Tarim memiliki sekitar 362 masjid
yang tersebar di setiap distriknya. Di Tarim juga banyak kita temukan
majelis-majelis ilmu, maulidan, dan majelis zikir.
Tapi,
bercerita tentang Tarim tak melulu mengenai kajian-kajian ilmu dan
majelis-majelis zikir. Warga Tarim tidak hanya mementingkan riyadhah
bathiniyah (olahraga kejiwaan), tapi mereka juga menghiraukan serta
menganggap penting olahraga-olahraga jasmani, di antaranya dengan
mengadakan turnamen sepak bola, bola voli, dan beragam macam olahraga
lainnya.
Namun, yang lebih menarik kali ini adalah dengan
diadakannya perlombaan pacuan unta di Lapangan Distrik ‘Aidid, sebuah
lapangan sepanjang 400 meter yang berada di selatan Kampus Universitas
Al-Ahgaff, tempat saat ini saya kuliah.
Perlombaan yang
berlangsung selama dua hari ini memperebutkan hadiah uang tunai 100 ribu
riyal Yaman (setara dengan 5,5 juta rupiah) bagi sang juara pertama
yang didanai langsung oleh kabilah Bin Kardus. Bin Kardus merupakan nama
sebuah kabilah yang mempunyai beberapa perusahaan tersohor di wilayah
Provinsi Hadhramaut.
Pada hari pertama, hari Jumat setelah shalat
Asar, sebanyak 44 ekor unta dari berbagai wilayah di Hadhramaut bersama
penunggangnya yang dibagi ke beberapa grup sudah siap berlaga adu
kecepatan. Sedangkan di hari puncak sebanyak 39 unta ikut berlaga.
Sebelum
lomba dimulai, panitia lebih dulu memberi arahan dan
peraturan-peraturan yang harus dipatuhi selama laga berlangsung. Di
antaranya tidak melakukan kecurangan, harus mengenakan seragam khusus,
yaitu berwarna kuning dan tidak diperbolehkan memakai celana yang
memperlihatkan auratnya.
Setelah semuanya selesai, lomba segera
dimulai. Hakim di garis start mengayunkan bendera pertanda perlombaan
dimulai yang disusul langsung dengan berlarinya unta menuju garis
finish. Para penunggang terlihat begitu lihai dalam “menyetir” binatang
khas padang pasir itu. Sorakan dan tepukan penonton yang memadati
lapangan pun menyeruak seantero Kota Tarim. Seru! Itulah kesan pertama
kali saya menonton perlombaan itu. Perlombaan yang tidak akan pernah ada
di Aceh, nanggroe lon tercinta.
Bukan hanya pacuan kuda, memacu
unta juga merupakan olahraga yang membutuhkan latihan ekstrakuat,
ketangkasan, sikap fokus, dan keseimbangan tubuh ketika unta sedang
memacu kecepatannya. Salah fokus dan kurangnya keseimbangan tubuh bisa
menyebabkan si penunggang terjatuh ke tanah dan bisa menyebabkan ia
cedera fisik.
Yang menyeramkan, ketika si penunggang terlepas
kendalinya dan jatuh ke tanah, lalu unta yang ditungganginya itu berlari
tanpa kendali ke arah penonton dan menabrak mereka. Oleh sebab itu,
para penonton (khususnya yang berada di pinggir lapangan) dituntut agar
lebih hati-hati dan waspada. Meskipun selama perlombaan, sebuah mobil
ambulans disiagakan untuk mengangkut para korban, namun sikap waspada
lebih baik daripada mengobati.
Perlombaan ini berakhir ketika
azan Magrib berkumandang. Berbondong-bondong para penonton menuju
masjid-masjid yang berada di dekat lapangan.
Bukan hanya
penonton, para peserta penunggang unta dengan pakaian yang dikenakannya
pun ikut shalat Magrib berjamaah. Dalam sekejap, tanpa harus ada aba-aba
dari polisi syariat, masjid-masjid disesaki oleh insan-insan yang
menghadap Tuhannya.
Jujur, ini merupakan fenomena yang kadang
jarang saya lihat di Aceh. Bahkan kebanyakan perlombaan dan
turnamen-turnamen di Nanggroe Serambi Mekkah tetap berlangsung ketika
panggilan Allah menggema dari masjid dan meunasah-meunasah. Bahkan lebih
sedihnya lagi, ada petarung atau peserta lomba yang tidak menghiraukan
kewajiban shalat fardhu hanya karena sebuah pertandingan.
Akhir
kata, semoga Aceh selalu berbenah di segala sisi dengan harapan lebih
maju dan lebih mantap dalam menerapkan syariat Islam secara kafah dan
benar-benar pantas untuk dijuluki Nanggroe Meusyari’at. Semoga!
__________
Tulisan ini sudah dimuatkan di koran Serambi Indonesia di kolom Sitizen Reporter, cetakan 23 Juli 2016.
Dikirim oleh M. Aidil Adhaa, Mahasiswa Universitas Al-Ahgaff asal Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar