KETIKA Hari Raya tiba, semua ummat islam di belahan dunia melaksanakan beragam macam acara untuk memeriahkan hari kemenangan ini. Dari acara saling berjabat tangan dan saling memaafkan,
hingga mengunjungi dan bersilaturahmi dengan sanak saudara yang dekat
maupun yang jauh.
Tapi lain lagi halnya dengan Tarim, kota yang dinobatkan sebagai
“Kota Ilmu dan Kebudayaan” oleh ISESCO. Tarim memiliki banyak keunikan
yang tidak dimiliki kota-kota di negara lain, terutama saat melaksanakan
even-even keagamaan.
Saat bulan Syawal seperti sekarang ini, misalnya, suasana Ramdahan
masih terasa begitu kental di Tarim. Pada saat daerah lain sedang sibuk
melaksankan berbagai macam kegiatan yang menandai Hari Raya Idul Fitri,
masyarakat Tarim justru sibuk dan larut dalam ibadah. Warga Tarim masih
melaksanakan ibadah puasa tak ubahnya sebagaimana yang mereka lakukan
saat Ramadhan.
Hanya hari Lebaran pertama saja yang terlihat seperti Lebaran pada
umumnya. Hari Raya Iidul Fitri di Tarim juga jatuh pada hari Rabu, 6
Juli seperti di Indonesia. Tapi sejak tanggal 2 Syawal, masyarakat Tarim
kembali melaksanakan puasa sunah (puasa enam) secara serentak hingga
tujuh Syawal. Karena hampir semua orang melaksanakan puasa enam
berbarengan, hal ini menjadikan suasana Lebaran di Kota Tarim kembali
seperti suasana saat bulan Ramadhan.
Baik di siang hari maupun malam hari, suasana di Tarim tak ubah dengan suasana saat Ramadhan,
hanya saja tidak ada lagi shalat Tarawih pada malamnya. Masjid-masjid
masih dipenuhi oleh jamaah yang melaksankan iktikaf sambil membaca
Alquran.
Agenda bulan Syawal juga tidak jauh beda dengan agenda masyarakat Tarim di bulan Ramadhan.
Di beberapa Masjid Tarim juga masih melaksanakan acara khatam Alquran,
buka puasa bersama, dan lainnya, sebagaimana yang dilaksanakan saat
bulan Ramadhan.
Kenapa begitu? Bukankah hari Lebaran itu hari kemenangan dan untuk
bersenang-senang? Ya, Lebaran adalah hari kemenangan dan
bersenang-senang. Tapi bagi masyarakat Tarim, kemenangan itu adalah saat
mereka masih bisa melaksankan ibadah seperti biasa. Dan saat mereka
melaksanakan ibadah, itulah saat mereka bersenang-senang, yakni
bersenang-senang dengan ibadahnya.
Setelah puasa enam dilaksanakan, tepatnya tanggal 8 Syawal, barulah
acara open house dilaksanakan di berbagai kediaman tokoh-tokoh
masyarakat Tarim. Sesuai namanya, open house ini terbuka untuk semua
orang, baik orang Tarim maupun luar Tarim diperbolehkan untuk hadir. Di
acara open house seperti ini kita bisa berjumpa dan bersalaman dengan
para ulama yang juga ikut hadir.
Open house di Tarim juga berbeda dengan open house di tempat-tempat
lain. Jika open house pada umumnya identik dengan berbagai macam makanan
enak atau pembagian tunjangan hari raya (THR) atau salam tempel, tapi
open house di Tarim justru diwarnai dengan zikir, selawat, dan doa
berjamaah, kemudian ditutup dengan saling bersalaman. Pastinya, jadwal
open house untuk kaum Adam dan Hawa tidak dilaksanakan bersamaan waktu
dan tempatnya.
Acara open house seperti ini sudah menjadi adat tahunan di Tarim.
Jadwalnya pun sudah ditetapkan secara permanen untuk setiap tahun.
Jadwal ini tidak akan diubah kecuali ada beberapa hal yang
mengharuskannya. Open house yang biasa dilaksanakan di Tarim antara lain
oleh keluarga Bin Hafidh di rumah Al-‘Alamah Habib Umar bin Hafidh,
open house keluarga Balfaqih di rumah Munshib Aal Balfaqih, open house
Aal Hamid di rumah Munshib Aal Hamid, dan open house Aal bin Syihab di
rumah Habib Adullah bin Syihab. Demikianlah ketentuannya.
Inilah sekilas suasana Hari Raya Idul Fitri di Kota Sejuta Wali, Tarim, Hadhramaut, Yaman. Seulamat Uroe Raya Idul Fitri 1437 H, Saudara lon di Aceh. Mohon meuah lahe ngon baten.
________
Reporter : Ezi Azwar Anzaruddin, mahasiswa Univ. Al-Ahgaff asal Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar